Ketika Mimpi Berubah Jadi Tekanan
Bayangkan kamu dulu pernah begitu ingin jadi penulis di media besar, desainer di perusahaan rintisan, atau mungkin guru di sekolah yang kamu kagumi sejak kecil. Dan sekarang, kamu sudah ada di posisi itu. Gaji mencukupi, pekerjaan sesuai passion, dan orang-orang di sekitar kagum atas pencapaianmu. Tapi entah mengapa, setiap pagi terasa berat. Kepala penuh tekanan. Hati justru kosong.
Ini bukan hal aneh. Banyak orang yang menjalani pekerjaan impian justru merasa tidak seberdaya yang dibayangkan. Beberapa bahkan berpikir, “Salah apa ya sampai begini capeknya?” Padahal mereka melakukan hal yang dulu sangat diinginkan. Realita tidak selalu sejalan dengan ekspektasi, dan itu sangat manusiawi.
Fenomena ini umum, namun jarang dibicarakan secara terbuka. Karena pekerjaan itu ‘impian’, maka kelelahan dianggap tidak valid. Padahal burnout bisa menimpa siapa saja, bahkan mereka yang berada di posisi paling diidamkan. Kesadaran dan empati menjadi kunci agar kita bisa keluar dari siklus ini tanpa menyalahkan diri sendiri.
Apa yang Menyebabkan Burnout di Pekerjaan yang Katanya Impian?
Salah satu penyebab terbesar burnout di pekerjaan impian adalah beban ekspektasi. Ketika kamu merasa harus selalu mencintai pekerjaan itu, harus selalu semangat, harus bersyukur setiap saat—kamu mulai memendam tekanan dalam diam. Tidak adanya ruang untuk merasa lelah tanpa rasa bersalah membuat tubuh dan pikiran mulai jenuh diam-diam.
Faktor lain yang sering terjadi adalah hilangnya batas antara kerja dan hidup pribadi. Karena pekerjaan ini menyenangkan (awalnya), kamu rela mengerjakan tugas di luar jam kantor, menjawab pesan malam-malam, bahkan bekerja saat sakit. Lama-lama kamu kehilangan waktu untuk diri sendiri, dan pekerjaan mulai terasa seperti kewajiban yang memenjarakan, bukan pilihan yang membebaskan.
Lingkungan kerja yang tidak mendukung juga bisa mempercepat munculnya burnout. Misalnya, tim yang terlalu kompetitif, atasan yang kurang empati, atau budaya kerja yang mengagungkan “kerja lembur = karyawan loyal”. Dalam jangka panjang, ini semua bukan hanya melelahkan secara fisik, tapi juga menggerus kesehatan mental secara perlahan.
Burnout Lebih Dalam dari Sekadar Lelah
Burnout bukan hanya soal kelelahan fisik. Ia menyentuh banyak aspek: motivasi menurun, kehilangan makna dalam pekerjaan, bahkan munculnya gejala seperti kecemasan, insomnia, atau gangguan psikosomatik. Banyak pekerja impian yang mulai mempertanyakan jati dirinya karena merasa “kok aku nggak bahagia padahal ini mimpi aku?”
Selain itu, burnout bisa mengganggu hubungan sosial dan produktivitas. Kamu jadi mudah tersinggung, menarik diri, atau justru berusaha terlalu keras untuk menutupi rasa lelahmu. Semua itu bisa membuat karier yang seharusnya berkembang jadi stagnan, bahkan mundur karena kamu kehilangan koneksi dengan pekerjaanmu sendiri.
Burnout juga bisa membuat seseorang kehilangan semangat hidup. Dalam kasus berat, seseorang bisa merasa tidak ada gunanya lagi bekerja, apalagi bermimpi. Di sinilah kita perlu benar-benar serius memahami bahwa burnout bukan hal sepele. Ia adalah alarm tubuh dan jiwa yang meminta perhatian.
Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan?
Langkah pertama adalah berhenti menyalahkan diri sendiri. Mencintai pekerjaan bukan berarti kamu harus mencintainya setiap hari. Beri ruang untuk merasa lelah, kecewa, atau bahkan muak—dan tahu bahwa itu normal. Kesadaran ini penting sebagai awal penyembuhan dan pemulihan.
Langkah kedua, bicarakan burnout-mu. Tidak harus ke atasan langsung, bisa ke teman kerja yang dipercaya atau profesional seperti psikolog. Jangan diam demi terlihat kuat. Kadang, membagi cerita justru membuka pintu solusi yang tak terpikir sebelumnya.
Terakhir, ubah cara memandang karier. Pekerjaan impian seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental. Bangun batasan yang sehat, jangan takut menolak beban kerja berlebih, dan cari cara mengisi ulang energi lewat kegiatan di luar pekerjaan. Kadang, mempertahankan impian artinya tahu kapan harus istirahat dan kapan harus menyesuaikan ulang arah.
Banyak dari kita tumbuh dengan mimpi besar dan semangat membara. Tapi di dunia nyata, bahkan mimpi pun bisa melelahkan. Dan itu tidak membuatmu lemah. Justru di titik lelah itulah, kamu belajar mengenali batas, merawat diri, dan membangun kehidupan yang lebih seimbang.
Kamu tetap boleh bermimpi. Tapi jangan lupa: kamu juga berhak istirahat.
baca juga alasan burnout saat kerja!