Tekanan Sehari-hari yang Tak Terlihat
Pernahkah kamu merasa sedang makan malam bersama keluarga, lalu orang tua dengan enteng berkata, “Kamu kan anak pertama, harus bisa jadi contoh”? Kalimat sederhana itu terdengar wajar, tapi bagi banyak anak pertama, kalimat itu jadi beban yang diam-diam mengendap. Misalnya, ketika adik mendapat nilai jelek di sekolah, orang tua bisa berkata, “Kamu sih, kakaknya, kurang ngajarin.” Pada akhirnya, anak pertama merasa bersalah atas hal-hal yang bahkan bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.
Contoh lain, ketika keluarga sedang dalam kesulitan ekonomi, anak pertama sering “secara otomatis” dianggap harus lebih berhemat, lebih dewasa, bahkan ada yang dituntut cepat bekerja agar bisa membantu. Semua itu mungkin dilakukan dengan ikhlas, tapi di dalam hati tumbuh rasa lelah yang tidak pernah tersampaikan. Dalam momen-momen kecil itu, banyak anak pertama merasa gagal memenuhi ekspektasi keluarga.
Situasi ini sering membuat anak pertama menyembunyikan sisi rapuhnya. Di hadapan orang tua, mereka terlihat tangguh, padahal di balik pintu kamar sering menangis sendirian. Realita sehari-hari ini jarang dibicarakan karena anak pertama merasa harus selalu kuat, padahal mereka juga manusia yang bisa jatuh, kecewa, dan merasa gagal.
Mengapa Anak Pertama Merasa Tertekan?
Alasan terbesar datang dari ekspektasi keluarga. Dalam budaya kita, anak pertama sering dianggap sebagai “kepanjangan tangan orang tua”. Mereka dipercaya lebih matang, lebih bertanggung jawab, dan lebih kuat dibanding adik-adiknya. Harapan itu tidak selalu salah, tapi ketika tidak diimbangi dengan empati, jadilah tekanan yang menumpuk. Harapan berubah jadi standar tinggi yang sulit dicapai, dan ketika gagal, perasaan bersalah pun muncul.
Selain keluarga, faktor lingkungan juga berperan besar. Guru di sekolah sering menyebut anak pertama harus disiplin, atau tetangga membandingkan “adik kok lebih rajin dari kakaknya.” Perbandingan semacam ini membuat anak pertama merasa nilainya hanya ditentukan oleh seberapa baik dia jadi panutan. Situasi itu menimbulkan pola pikir bahwa gagal berarti mengecewakan semua orang.
Penyebab lain datang dari internal anak pertama sendiri. Karena terbiasa diberi tanggung jawab sejak kecil, mereka belajar mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. Ketika ada kesalahan, mereka refleks menyalahkan diri. Kebiasaan ini lama-kelamaan melahirkan rasa takut gagal, bahkan dalam hal kecil sekalipun. Tidak heran kalau akhirnya mereka sering merasa tidak cukup baik meski sudah berusaha keras.
Dampak yang Sering Terabaikan
Jika perasaan gagal ini dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius. Anak pertama berisiko mengalami burnout meski usianya masih muda. Mereka bisa merasa hampa, mudah lelah, atau kehilangan motivasi karena merasa hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Beberapa penelitian psikologi keluarga menunjukkan bahwa tekanan yang tidak tertangani dapat menurunkan kepercayaan diri dan meningkatkan risiko gangguan kecemasan.
Dampak lain terlihat dalam hubungan sosial. Anak pertama yang merasa gagal bisa sulit terbuka pada orang lain, karena mereka terbiasa menyimpan perasaan agar tidak membebani. Akibatnya, mereka bisa tampak dingin atau terlalu mandiri, padahal sebenarnya membutuhkan dukungan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa merusak pola komunikasi dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
Tidak hanya itu, tekanan mental ini juga bisa berimbas pada fisik. Stres berkepanjangan membuat tubuh lebih rentan sakit, mulai dari sakit kepala, gangguan tidur, hingga masalah pencernaan. Inilah alasan mengapa penting untuk tidak meremehkan perasaan gagal yang dialami anak pertama.
Belajar Menerima dan Bangkit
Solusi pertama adalah mengubah cara pandang keluarga. Orang tua perlu menyadari bahwa anak pertama bukanlah “robot tangguh” yang bisa selalu kuat. Mereka butuh ruang untuk salah, untuk lemah, dan untuk belajar. Dukungan emosional sederhana, seperti mendengarkan tanpa menghakimi, bisa sangat berarti bagi kesehatan mental anak pertama.
Bagi anak pertama sendiri, penting untuk belajar mengatakan “tidak apa-apa kalau aku gagal.” Gagal bukan berarti tidak berharga, melainkan kesempatan untuk belajar. Melatih diri menerima kegagalan sebagai bagian dari proses akan membuat beban terasa lebih ringan. Caranya bisa dengan menulis jurnal, berbagi cerita dengan teman yang dipercaya, atau bahkan mencari konseling jika perlu.
Selain itu, anak pertama juga perlu membangun standar pribadi, bukan hanya mengikuti standar keluarga atau lingkungan. Dengan begitu, mereka bisa menilai diri sendiri secara lebih sehat, bukan semata dari penilaian orang lain. Perlahan, perasaan gagal bisa berubah menjadi motivasi untuk tumbuh, bukan luka yang membekas.
Merasa gagal sebagai anak pertama adalah realita yang dialami banyak orang, meski sering tidak terucapkan. Tekanan keluarga, ekspektasi lingkungan, dan kebiasaan menyalahkan diri membuat anak pertama kerap membawa beban besar di pundaknya. Namun, perasaan gagal ini bukan akhir dari segalanya. Ada jalan untuk bangkit: menerima diri, membuka komunikasi, dan membangun lingkungan yang mendukung.
Kalau kamu juga pernah merasa seperti ini, jangan biarkan perasaan gagal membungkammu. Ceritakan pengalamanmu, karena bisa jadi ada banyak anak pertama lain di luar sana yang merasa sama, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Mari kita saling menguatkan agar perasaan gagal tidak lagi jadi luka yang membekas, melainkan titik awal untuk tumbuh lebih kuat.
Untuk memahami dampak diam karena rasa takut salah, Anda bisa membaca tulisan mendalam dalam Aku Takut Salah, Jadi Aku Diam yang membahas bagaimana ketakutan itu bisa memengaruhi kesehatan mental dan komunikasi dalam keluarga.