Cancel culture sering menjadi topik hangat dalam diskusi mental health dan personal growth. Fenomena ini menggambarkan tindakan sosial meniadakan dukungan terhadap seseorang yang dianggap melakukan kesalahan atau menyampaikan pendapat kontroversial. Cancel culture muncul sering kali melalui media sosial, daya viral, dan tekanan massa. Namun, pertanyaannya: apakah cancel culture benar‑benar adil atau malah berlebihan?
Apa itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah fenomena budaya di mana seseorang yang dianggap melakukan kesalahan publik dikeluarkan dari dukungan sosial, dipulaukan, atau bahkan dipecat dari pekerjaan. Kejadian tersebut biasanya terjadi secara cepat karena viral di media sosial. Proses ini sering dipicu oleh opini publik dan tekanan online yang intens.
Fenomena ini bisa dianggap sebagai bentuk accountability oleh sebagian orang karena memaksa individu untuk bertanggung jawab atas ucapan atau tindakannya. Namun jika proses penghakiman berlangsung tanpa ruang dialog, cancel culture bisa menimbulkan dampak negatif serius bagi individu dan komunitas.
Dampak Cancel Culture terhadap Mental Health dan Mentalitas Diri
Cancel culture bisa memberikan tekanan besar pada mental health karena target merasa di‑ostracize secara sosial dan profesional. Rasa cemas, depresi, hingga isolasi sosial bisa muncul sebagai dampak dari stigma publik yang melekat secara tiba‑tiba.
Dalam konteks self‑growth dan perkembangan diri, tidak adanya ruang untuk belajar dari kesalahan bisa menghambat proses mental development. Jika seseorang tidak diberi kesempatan memperbaiki diri, maka pertumbuhan mentalitasnya jadi tertahan atau bahkan terganggu.
Cancel Culture: Keadilan atau Berlebihan?
Di satu sisi, cancel culture bisa memberikan keadilan sosial—misalnya menghadapi pelaku bias atau pelecehan yang tidak diproses secara hukum. Publik mengambil peran untuk mempertahankan nilai keadilan sosial. Namun jika penggunaan cancel culture terlalu ekstrim tanpa pertimbangan kontekstual, bisa menjadi bentuk hukuman yang tidak proporsional.
Menurut kritikus seperti John Stuart Mill dan Martha Nussbaum, cancel culture bisa menjadi “justice of the mob” yang tidak netral dan tidak deliberatif. Dengan demikian, garis tipis antara keadilan dan berlebihan sering kali kabur.
Mental Growth sebagai Alternatif Pendekatan
Alih-alih langsung cancel seseorang, pendekatan counterspeech atau call‑out culture lebih menekankan dialog kritis dan edukasi. Pendekatan ini memungkinkan target untuk mendengar kritik, memperbaiki diri, dan berkembang secara mental. Metode ini mendorong pemikiran kritis, bukan hanya hukuman. Dalam konteks perkembangan diri, individu yang diberi ruang untuk introspeksi cenderung lebih dewasa dan mentalitasnya lebih berkembang, daripada mereka yang langsung dijatuhi penghakiman moral oleh massa.
Jika kamu pernah menjadi korban atau bagian dari cancel culture, pertahanan terbaik adalah menjaga mentalitas yang sehat dan tetap terbuka pada dialog. Fokus pada self‑growth dengan memperbaiki kesalahan bukan menutup diri. Carilah dukungan komunitas yang membangun, konsultasi terapi bila perlu, dan utamakan keseimbangan antara tanggung jawab dan hak bicara. Ini penting untuk mental health dan perkembangan diri jangka panjang.