Saat Resign Menjadi Pelarian: Kenyataan yang Tidak Sederhana
Beberapa orang resign bukan karena punya tawaran kerja baru, tapi karena sudah tidak sanggup bertahan. Rani, karyawan usia 28 tahun, memilih keluar setelah tiga bulan mengalami tekanan psikis dari atasan—tanpa rencana, tanpa tabungan. Di sisi lain, Anton merasa stuck dan keluar dengan harapan bisa “istirahat dulu”, padahal belum punya arah pasti. Fenomena seperti ini bukan hal langka. Banyak orang muda hari ini menghadapi dilema yang sama: bertahan dengan tekanan atau lompat ke jurang tak pasti.
Realitanya, tak semua orang punya privilege untuk resign dengan rencana matang. Tekanan kerja yang kronis, lingkungan toxic, burnout akut, atau bahkan kekerasan verbal kerap menjadi pemicu utama. Bagi banyak orang, pilihan resign tanpa rencana bukan keputusan emosional semata, tapi satu-satunya jalan keluar yang masih tersisa. Namun, pilihan ini menyisakan banyak konsekuensi dan pertanyaan besar tentang arah hidup setelahnya.
Mengapa Banyak Orang Resign Tanpa Rencana?
Ada banyak alasan di balik keputusan ini, dan tidak semua terdengar “rasional” bagi orang luar. Beberapa pekerja merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka saat berada di lingkungan kerja yang penuh tuntutan tidak masuk akal. Mereka merasa terjebak dalam siklus kerja lembur tanpa penghargaan, atau berhadapan dengan atasan yang semena-mena. Dalam situasi seperti itu, tubuh dan mental sering memberi sinyal bahwa cukup adalah cukup.
Faktor lainnya adalah kelelahan emosional akibat kurangnya apresiasi. Banyak karyawan merasa performanya tak pernah dianggap meski sudah bekerja ekstra. Tidak sedikit pula yang merasa hilang arah—bekerja hanya karena tuntutan ekonomi, bukan karena panggilan jiwa. Resign tanpa rencana, dalam konteks ini, sering dilihat sebagai bentuk reclaim terhadap martabat diri. Sayangnya, tindakan ini juga sering disalahpahami sebagai tidak bertanggung jawab.
Di luar itu, budaya hustle yang ditanam sejak kuliah membuat banyak orang menganggap karier harus terus naik. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi, rasa kecewa berlipat ganda. Mereka merasa gagal, lalu memutuskan berhenti tiba-tiba tanpa rencana karena dorongan frustasi. Resign, dalam banyak kasus, adalah kombinasi antara kelelahan kronis, ketidakberdayaan struktural, dan hilangnya makna personal dalam bekerja.
Boomerang atau Liberation? Jalan Mana yang Bisa Diambil?
Setelah resign, ada dua kecenderungan besar: kembali ke perusahaan lama (boomerang) atau mencari jalur bebas (liberation). Pilihan pertama biasanya muncul saat seseorang sadar bahwa realita dunia kerja tidak semudah yang dibayangkan. Mereka mendekati kembali atasan lama dengan harapan bisa “memperbaiki” situasi sebelumnya. Tapi ini bukan tanpa risiko. Rasa malu, penyesuaian ulang, dan stigma “gagal” bisa menghantui perjalanan mereka.
Liberation, sebaliknya, terdengar lebih ideal: membuka usaha, belajar ulang, atau eksplorasi karier baru. Namun jalan ini tidak selalu mulus. Butuh modal, jaringan, dan stamina mental yang tidak sedikit. Banyak orang yang justru mengalami fase kekosongan panjang karena tidak punya arah dan kehilangan kepercayaan diri. Liberation tanpa visi juga bisa berujung pada krisis identitas baru, bukan solusi.
Apapun pilihan yang diambil, setiap jalan butuh refleksi mendalam dan kesadaran diri. Kembali ke perusahaan lama bukan aib, selama didasari evaluasi yang jujur. Begitu pun mencoba jalan baru, selama tidak bermula dari pelarian tanpa strategi. Yang perlu diingat, bukan siapa yang kembali atau melangkah pergi, tapi seberapa sadar seseorang terhadap apa yang sebenarnya ia cari.
Dampak Jangka Panjang & Solusi yang Bisa Dirancang
Resign tanpa rencana bisa berdampak ke banyak aspek: finansial, psikologis, hingga reputasi profesional. Tanpa tabungan, banyak mantan karyawan terpaksa mencari pekerjaan seadanya, bahkan yang jauh dari minat dan keahlian. Ini bisa menimbulkan rasa kecewa terhadap diri sendiri. Belum lagi tekanan sosial dari keluarga atau teman yang mempertanyakan keputusan mereka. Dalam jangka panjang, ini bisa melemahkan rasa percaya diri dan motivasi untuk bangkit kembali.
Solusinya bukan dengan melarang orang resign, tapi membuka ruang aman untuk mendiskusikan hal ini. Perusahaan seharusnya punya kanal keluhan internal yang manusiawi, bukan sekadar HR yang bertugas merekrut. Para pekerja juga perlu lebih jujur pada diri sendiri: apakah masalahnya benar-benar lingkungan kerja atau harapan yang tidak realistis? Refleksi ini penting agar setiap langkah ke depan lebih terarah.
Bagi yang sudah resign, fokus pertama adalah memulihkan kesehatan mental dan stabilitas keuangan. Bangun rutinitas harian yang sehat, cari komunitas pendukung, dan evaluasi ulang nilai-nilai pribadi. Jika memungkinkan, konsultasikan dengan career coach atau psikolog industri. Hidup tidak berakhir di satu pintu yang ditutup. Terkadang, keluar dari tempat yang salah adalah awal dari jalan yang lebih sesuai.
Resign tanpa rencana bukanlah keputusan sepele, tapi refleksi dari realita hidup yang kompleks. Tak semua orang bisa bertahan, dan tak semua yang pergi pasti tersesat. Mari kita mulai membicarakan dunia kerja dengan lebih jujur dan penuh empati.
Sudah pernah resign tanpa rencana? Ceritakan pengalamanmu di kolom komentar agar orang lain tahu bahwa mereka tidak sendiri.