Dimulai dari Hal-Hal yang Sering Terjadi di Kantor
Pernah nggak kamu merasa bingung saat baru masuk kantor dan nggak tahu harus mulai dari mana? Atau kamu merasa kesepian, seperti cuma numpang lewat dalam sistem kerja yang rumit? Banyak karyawan, apalagi yang masih junior, menghadapi perasaan ini. Mereka bekerja keras, tapi tetap merasa seperti berjalan dalam kabut. Mungkin mereka belum tahu siapa yang bisa diajak diskusi atau tempat belajar informal selain dari HRD.
Di sisi lain, ada juga yang sudah lama bekerja tapi mulai merasa stuck. Mereka kehilangan arah, tidak ada tantangan baru, dan tidak tahu harus melangkah ke mana lagi. Dalam kondisi ini, keberadaan seorang mentor bisa mengubah banyak hal. Sayangnya, tidak semua perusahaan menyadari pentingnya hal ini. Bahkan lebih banyak yang mengandalkan sistem “belajar sendiri” dengan harapan karyawan akan berkembang sendirinya seiring waktu.
Padahal, contoh-contoh sederhana seperti itu menunjukkan bahwa kita butuh sistem mentoring yang sehat dan terarah di lingkungan kerja. Bukan cuma formalitas, tapi sesuatu yang bisa membantu membangun koneksi antarindividu, mempercepat adaptasi, dan mendorong kinerja. Kita butuh sosok yang mau mendengar dan membimbing, bukan hanya menilai atau mengawasi.
Kenapa Kita Butuh Mentoring, Bukan Sekadar Atasan?
Mentoring berbeda dengan sekadar punya atasan atau supervisor. Kalau atasan fokus pada hasil kerja, mentor fokus pada proses belajar kita. Mentor hadir bukan untuk memberi instruksi, tapi untuk berdiskusi, mengarahkan, dan menanyakan: “Kamu butuh bantuan apa?” atau “Apa yang kamu pikirkan tentang ini?” Dalam sistem kerja modern, ini bukan hal mewah—ini adalah kebutuhan.
Kita hidup di dunia kerja yang cepat berubah. Skill baru terus muncul, tekanan makin tinggi, dan ekspektasi makin besar. Di tengah semua itu, karyawan butuh sosok yang bisa membantu menavigasi dunia ini. Mentor bisa jadi tempat bertanya tanpa takut dihakimi. Bisa jadi ruang aman untuk curhat, refleksi, dan berkembang.
Tanpa mentoring, banyak karyawan merasa terasing. Mereka bingung ketika salah tapi tidak tahu harus tanya siapa. Mereka juga ragu-ragu saat punya ide, karena tidak punya pembimbing yang bisa diajak diskusi. Hal ini lama-lama membuat karyawan kehilangan semangat. Akhirnya, turnover tinggi dan engagement menurun.
Apa Penyebab Minimnya Mentoring di Tempat Kerja?
Salah satu penyebab utama adalah budaya kerja yang terlalu fokus pada hasil. Banyak perusahaan menilai karyawan berdasarkan angka—deadline, target, efisiensi—tanpa melihat proses atau kebutuhan personal. Dalam sistem seperti ini, mentoring dianggap buang-buang waktu atau urusan HRD saja.
Selain itu, banyak senior enggan menjadi mentor karena merasa tidak diberi ruang, tidak dibekali, atau bahkan tidak dihargai untuk peran tersebut. Padahal, menjadi mentor bukan berarti harus jadi sempurna, tapi cukup punya kemauan untuk berbagi dan mendengarkan. Sayangnya, hal ini sering tidak disosialisasikan dengan baik dalam struktur organisasi.
Terakhir, perusahaan kadang bingung bagaimana memulai program mentoring yang tepat. Apakah harus formal, apakah perlu pelatihan, atau cukup pairing biasa? Akhirnya, banyak yang memilih tidak melakukannya sama sekali. Padahal, justru langkah kecil dan natural bisa jadi awal dari perubahan besar dalam dinamika kantor.
Dampak Jika Kita Mengabaikan Mentoring
Tanpa mentoring, karyawan kehilangan arah. Mereka seperti naik kendaraan tanpa peta. Produktivitas bisa tetap jalan, tapi tidak ada pertumbuhan personal yang berarti. Semangat bisa bertahan beberapa bulan, tapi lama-lama melemah. Dalam jangka panjang, hal ini berdampak pada budaya kerja yang datar dan minim inovasi.
Di sisi lain, perusahaan akan kehilangan talenta terbaiknya lebih cepat. Orang-orang hebat tidak hanya butuh gaji besar, tapi juga lingkungan yang suportif dan memfasilitasi pertumbuhan. Tanpa mentoring, para karyawan ini merasa sendiri, lelah, lalu pindah. Turnover meningkat, biaya rekrutmen naik, dan suasana kerja pun jadi tidak stabil.
Solusinya sederhana tapi perlu komitmen: mulai dari atas. Bangun budaya mentoring secara natural. Libatkan karyawan senior untuk jadi mentor sukarela. Fasilitasi ruang diskusi antar generasi di kantor. Dan yang paling penting, kenali mentoring sebagai investasi jangka panjang—bukan hanya sebagai program musiman. Karena mentoring yang baik bukan hanya membentuk karyawan yang tangguh, tapi juga menciptakan tempat kerja yang sehat dan manusiawi.
Penutup: Kembali ke Manusia, Bukan Hanya Target
Mentoring di kantor bukan soal punya program keren yang dipajang di profil LinkedIn. Ini tentang membangun empati dan perhatian nyata di antara rekan kerja. Tentang membantu satu sama lain tumbuh dan berkembang. Ketika mentoring menjadi bagian dari budaya kerja, yang dihasilkan bukan cuma target terpenuhi, tapi juga manusia yang merasa dihargai.
Kalau kamu merasa lingkungan kerjamu belum punya sistem mentoring, mungkin kamu bisa jadi pemula perubahan itu. Jadilah orang yang mau mendengar, yang siap berbagi, dan yang tidak pelit ilmu. Karena perubahan besar seringkali dimulai dari satu langkah kecil yang penuh niat.
Jika kamu merasa artikel ini relate dengan kondisi kantormu, cobalah mulai percakapan kecil dengan kolega hari ini. Bisa jadi, itu adalah awal dari sistem mentoring yang selama ini kamu cari.