Ketika Bekerja di Rumah Tak Selalu Menenangkan
Rina, seorang staf administrasi di perusahaan outsourcing, memulai hari dengan sarapan sambil membuka laptop. Ia belum menyelesaikan tugas hari sebelumnya karena jaringan internet di rumahnya sempat bermasalah. Anaknya yang masih SD sedang daring di ruang sebelah, dan suaminya juga WFH di ruang tamu. Hari belum dimulai tapi kepalanya sudah penuh. Begitulah realita “kerja dari rumah” bagi sebagian besar orang.
Bagi sebagian lainnya, WFH mungkin terdengar ideal: tanpa macet, lebih dekat dengan keluarga, dan bisa bekerja dari mana saja. Namun tak banyak yang membahas sisi gelapnya: tekanan kerja tanpa batas waktu, sulitnya fokus karena tumpang tindih peran, dan ilusi bahwa WFH selalu berarti “lebih santai”. Justru, di banyak kasus, beban kerja tak berkurang—malah bertambah—karena batas antara rumah dan kantor menjadi kabur.
Cerita Rina bukan satu-satunya. Banyak pekerja di kota-kota besar maupun pelosok daerah mengalami situasi serupa. Perbedaan fasilitas, peran gender, bahkan kultur keluarga turut menentukan apakah WFH menjadi berkah atau jebakan produktivitas. Satu hal yang pasti: realita tak selalu seindah narasi “kerja fleksibel” yang sering kita baca di media sosial.
Mengapa WFH Tidak Selalu Efektif?
Secara konsep, WFH memberi fleksibilitas tinggi tapi hanya jika didukung infrastruktur dan budaya kerja yang tepat. Di Indonesia, banyak rumah tangga tidak memiliki ruangan kerja khusus, dan kondisi internet masih menjadi kendala teknis. Tak jarang, satu perangkat digunakan bergantian oleh orang tua dan anak. Hal ini jelas memengaruhi konsentrasi, kualitas kerja, dan tentu saja produktivitas.
Selain itu, banyak perusahaan belum sepenuhnya beradaptasi dengan model kerja jarak jauh. Pekerja tetap dituntut hadir di banyak pertemuan daring, sering kali tanpa kejelasan output yang diharapkan. Hal ini memicu kelelahan kognitif atau zoom fatigue. Tanpa kejelasan struktur kerja dan ekspektasi yang realistis, WFH dapat menjadi sumber stres baru bagi karyawan.
Lebih jauh lagi, dalam banyak keluarga, beban domestik masih identik dengan peran perempuan. WFH justru membuat beban ini semakin tidak terlihat. Pekerja perempuan harus menyelesaikan pekerjaan kantor sambil mengurus anak, memasak, hingga membersihkan rumah. Kondisi ini tak hanya memengaruhi produktivitas, tapi juga memperparah ketimpangan gender dalam dunia kerja.
Produktivitas yang Sering Disalahpahami
Produktivitas sering dikaitkan dengan output yang terukur secara angka: berapa banyak tugas diselesaikan, berapa jam rapat dihadiri, atau seberapa cepat email dibalas. Padahal, produktivitas sejati juga melibatkan kualitas berpikir, kemampuan mengambil keputusan, dan ketenangan emosional saat bekerja. WFH yang kacau justru merusak semua itu secara perlahan.
Sebagian pekerja mengaku mengalami peningkatan produktivitas saat WFH, tapi tidak sedikit pula yang merasa burnout karena ritme kerja yang tidak manusiawi. Riset menunjukkan bahwa tanpa batas waktu kerja yang jelas, karyawan cenderung merasa bersalah jika tidak “terlihat aktif” di jam kerja, meski sudah bekerja maksimal sejak pagi. Inilah jebakan produktivitas yang diam-diam memakan korban.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah ketika produktivitas menjadi tolok ukur tunggal keberhasilan WFH, tanpa mempertimbangkan kondisi psikis dan sosial pekerja. Produktivitas semacam ini hanya menguntungkan sistem, bukan manusianya. Maka penting untuk meninjau ulang: apakah kita benar-benar lebih produktif, atau hanya terlihat sibuk di layar?
Bagaimana Jalan Tengahnya?
Solusi pertama bukan pada sistem kerja, melainkan pada pengakuan atas kenyataan: WFH tidak netral bagi semua orang. Ada ketimpangan akses, waktu, dan beban emosional yang tidak kasat mata. Perusahaan perlu menyusun kebijakan kerja jarak jauh yang adaptif, bukan copy-paste dari model luar negeri atau berdasarkan asumsi manajerial semata.
Pendekatan manusiawi dalam bekerja, seperti mengizinkan jeda kerja, jam fleksibel nyata (bukan hanya di brosur), dan dukungan psikis, adalah hal-hal kecil yang berdampak besar. Selain itu, pekerja juga perlu didorong untuk merawat ritme kerja sehat: tahu kapan harus produktif, dan tahu kapan harus berhenti. Karena tanpa keseimbangan ini, WFH akan tetap jadi jebakan, meski tampak seperti berkah.
Dalam jangka panjang, kita perlu mendesain ulang definisi sukses dalam bekerja. Bukan sekadar output harian atau durasi hadir dalam ruang virtual, tapi apakah pekerjaan itu bisa dijalankan secara berkelanjutan dan bermakna. WFH bukan hanya soal teknologi, tapi soal bagaimana manusia memaknai kerjanya di ruang yang seharusnya jadi tempat istirahat: rumah.
WFH Tak Hitam-Putih
Bekerja dari rumah bukan solusi instan bagi semua persoalan pekerjaan modern. Ia bisa menjadi berkah bagi yang mampu mengatur waktu dan memiliki fasilitas pendukung. Tapi bisa juga menjadi jebakan bagi mereka yang menghadapi keterbatasan dan tekanan sosial yang lebih besar. Maka, penting untuk melihat fenomena WFH dengan lebih jernih dan adil.
Realitas pekerja harian, ibu bekerja, dan karyawan pinggiran kota layak diangkat dan dipahami. Mereka bukan statistik, tapi manusia dengan batas dan beban yang tak selalu terlihat. Sebelum menyebut WFH sebagai tren kerja masa depan, mari kita pastikan sistem ini benar-benar berpihak pada keberlanjutan hidup, bukan hanya keberlanjutan target.
Pernah merasa WFH membuatmu kehilangan arah atau merasa terlalu lelah? Ceritakan pengalamanmu di kolom komentar. Suara kamu valid, dan bisa jadi suara banyak orang lain juga.